Suhunan Situmorang
JUDUL FILM semi dokumentar itu ‘Act of Killing,’ karya sineas Inggris Joshua Oppenheimer. Film yang tak lazim pendekatan dan teknik sinematografinya, dikerjakan hampir tujuh tahun. Film berisikan testimoni dua algojo, AC dan AZ (sengaja ditulis inisial karena ternyata, belakangan, keduanya keberatan bila film ini disiarkan), eks preman bioskop Medan, membantai orang-orang yang dituduh PKI pasca 30 September 1965.
Satu dari algojo itu, AC, menjadi “pemeran utama,” awalnya dengan bangga menjelaskan detil pembunuhan yang dia lakukan, memeragakan cara mencabut nyawa yang paling cepat dan untuk menghindari banjir darah yang menimbulkan bau anyir. Ia termasuk pentolan organisasi massa yang amat berpengaruh di Medan dan Sumut, berlabel Pancasila.
Di film itu diperlihatkan lokasi eksekusi, sebuah bangunan di pusat Kota Medan. Entah berapa persisnya jumlah orang yang dipaksa mati di situ, hasil eksekusi algojo berdarah dingin eks calo sebuah bioskop yang sudah tutup itu. Puluhan? Ratusan?
Jumlah tak lagi ukuran. Membunuh satu orang atau seratus orang, sama-sama mencabut nyawa. Mengakhiri “hak hidup” sesama insan yang sama-sama memiliki hati, pikiran, juga orang-orang dekat yang menyayangi–dan menangisi kematian tersebut lewat ratap yang memilukan.
Tokoh utama si penjagal itu, AC, menjelang akhir film, akhirnya menyesali perbuatannya, yang puluhan tahun berupaya melawan nurani dan mimpi-mimpi buruk yang meneror dirinya. Ia masih hidup, sehat, bermukim di Medan dan termasuk disegani preman, pejabat, pengusaha, juga orang-orang “biasa.”
‘Act of Killing’, film yang menguak pembantaian orang-orang yang dituduh PKI pasca G 30 S dengan cara meminta pengakuan pelaku-pelaku pembunuhan, memandang tragedi masa lalu dari perspektif kekinian. Awalnya, ada kebanggaan membersit dari suara dan wajah mereka. Tapi, belakangan tak bisa menyembunyikan rasa bersalah dan kengerian yang menghantui, walau hanya AC yang terang-terangan mengakui.
***
Lewat tengah malam saya tinggalkan lokasi pemutaran film yang dilakukan diam-diam. Usai menonton, saya sempat membincangkan proses pembuatan film dengan dua kru dan beberapa teman yang bertemu di taman Salihara, ruang bagi komunitas pegiat kesenian dan kebudayaan itu. Hanya orang-orang tertentu yang diundang, tak lebih 50 orang. Aktivis HAM, tokoh pers, jurnalis, seniman-budayawan, dan yang menaruh minat pada sejarah Indonesia yang ternyata banyak menumpahkan airmata dan darah, yang ironisnya pelaku dan korban sesama orang Indonesia pula.
Tiba di rumah pukul 01.00 lebih, saya berusaha tidur sesudah bersih-bersih. Menjelang jam 03.00 WIB, saya masih terjaga dengan perasaan gelisah. Misalkan saya anak dari satu korban pembunuhan massal tersebut, apakah sikap saya sesudah menonton film tersebut dan dua pelaku pembantaian itu masih hidup? Saya gelisah di kamar yang hening, sendirian, bersama solilokui yang mendebarkan.
Kota Medan yang kerap saya rindukan, sejak dulu sudah terkenal dikuasai preman, dan masih saja dikuasai para preman, terutama yang berbaju ormas. Penduduknya, seperti halnya masyarakat Sumut, seperti memaklumkan. Bisa jadi karena tak berdaya menyisihkan, bisa jadi pula sudah terbiasa.
Film panjang karya Oppenheimer yang dipuji peminat film non-hiburan di luar negeri itu, sepatutnya ditonton orang Medan dan Sumut. Mereka perlu tahu sejarah yang kelam menyangkut orang-orang kiri untuk dijadikan penyeimbang pelajaran sejarah dan stigma buruk yang dipaksakan Rezim Orba – dan tertanam kuat dalam diri masyarakat Sumut.
Itu penting, sekalian memulai gerakan resistensi pada praktik-praktik kepremanan yang sebetulnya tak beda jauh dengan zombie. Kesadaran kaum terpelajar amat dinantikan untuk memperbaiki mentalitas yang seolah melegitimasi cara-cara intimidasi dan kekerasan demi uang dan kepentingan.
Mungkin film ini akan sulit didapat karena ormas yang paling disorot dalam film tersebut diduga keras akan menghalangi. Tapi, yang namanya preman, mafia, hanya sampah yang menyusahkan orang-orang baik. Apapun menyangkut kejahatan, haruslah dilawan. Pertanda keberadaban dan masih hidupnya kemanusiaan.
Kaum terpelajar Medan sangat diharap memimpin pergerakan menuju perubahan. Niscaya, masyarakat Sumut akan mengikut perlahan-lahan. Film Act of Killing yang mengungkap kekejaman yang terbungkam puluhan tahun itu biarlah dijadikan penggerak menuju perubahan, dan lebih mulia lagi bila dibarengi permintaan maaf bagi keluarga korban. (Artikel ini ditulis untuk www.medanmagazine.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar